Get Lost In Wayag, Raja Ampat #2

Raja Ampat, Papua

(CHAPTER 2. TUJUH JAM SEBELUM)

Pucuk-pucuk gunung kars semakin kasat mata saat speedboat yang kami sewa memasuki perairan biru toska.  Di atas perairan dangkal tersebut, speedboat melenggang lebih tenang. Padahal, beberapa jam sebelumnya, gelombang cukup besar mengocok badan kapal sekaligus isi perut kami. Hari itu, cuaca tidak cukup baik. Beberapa kali kami diguyur hujan selama perjalanan. Bahkan, mesin speedboat sempat mengalamami kerusakan.  Lelah perjalanan segera berganti riang-riuh saya, Anif, Ine, Lia, Tita, Icha, Wilda, Citra, dan abang saya, Ijang saat melihat bibir pantai Wayag.

“Selamat datang di Wayag”

Raja Ampat, Papua

Beberap menit sebelum mesin kapal mati dalam perjalanan ke Wayag.

Waktu sudah melewati pukul 1 siang. Ini berarti kami mulur 2-3 jam dari waktu tempuh normal, yakti 4-5 jam. Ijang langsung melompat padahal speedboat belum bersandar sempurna. Ia celupkan wajahnya ke air beberapa kali. Wajah yang pucat-pasi kembali berwarna. Selama perjalanan, abang saya ini muntah berkali-kali sampai tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan.

Bukan cuma ijang yang ”rindu” daratan, usai kapal merapat, beberapa teman tunggang-langgang mencari pojokan. Berjam-jam di kapal membuat kantung kemih berontak minta dikosongkan. Sementara itu, perut kami berteriak minta diisi segera. Melihat wajah-wajah lapar, bu Wisye menyiapakan makan siang yang disusunnya dalam rantang. Perempuan kelahiran 1985 ini adalah pemilik homestay Mangrove di Pulau Mansuar. Walau sudah bertahun-tahun tinggal di Raja Ampat, ini kali pertama bu Wisye menginjakan kaki di Wayag.

Raja Ampat, Papua

Jalur berbatu kars dan berakar menuju Puncak Wayag.

Saya lahap satu-satu jenis menu yang dibawakan Bu Wisye untuk mengisi tenaga yang terkuras selama perjalanan. Konon, jalur ke puncak Wayag  cukup menantang. Dan benar saja! Jalur terjal menyambut kami yang kekenyangan. Perkiraan saya, kemiringannya sekitar 50-60 derajat dengan medan kars dan bertanah. Untungnya, banyak akar pohon yang  bisa dijadikan pegangan. Sebenarnya jarak dari kaki ke puncak Wayag hanya seratus meter. Tapi baru sepertiga perjalanan, napas mulai tersengal-sengal. Saya harus tetap fokus memilih pijakan.  Salah-salah, batu sekepel tangan yang saya pijak malah gelinding  ke jidad kawan yang di belakang.

Saya tiba di puncak Wayag. Akhirnya, pemandangan yang selama ini hanya saya lihat lewat foto, kini ada di depan mata. Gugusan bukit kars terhampar seperti kura-kura hijau yang sedang muncul ke permukaan. Saya langsung angkat kamera membingkai ikon “istana” empat raja. Saya tidak peduli lagi dengan rambut kusut karena pengikatnya putus tanpa saya sadar. Berlatar biru toska, setiap anak sibuk berfoto, kecuali Lia dan Tita yang  sibuk untuk difotokan. Dalam perjalanan kali ini, Lia jarang memanggil saya, tidak seperti biasa. Tampaknya, dia sedang menjinakan rasa takut ketinggian yang menghinggapinya. Tepuk tangan paling meriah untuk teman SMA saya ini yang bisa bercokol di puncak Wayag.

“Ayo turun. Nanti terlalu sore,” Panggil Bu Wisye.

Saya turun paling awal agar bisa memvideokan berjuangan teman-teman menuruni jalur terjal Wayag. Naiknya sulit, turunnya ampun. Makan siang tadi sepertinya sudah impas dengan tenaga untuk naik-turun Wayag. Setibanya di kaki Wayag, saya langsung nyemplung ke laut. Baju yang sudah kering menjadi basah lagi. Anif bergabung bersama saya, disusul Ine, Icha, dan Lia.

Hiu-hiu kecil sesekali melintas di sekitar kami. Hiu jenis blacktip ini tidak agresif, jadi tidak perlu khawatir. Hari itu, hanya kami yang ada di Wayag. Ikon Raja Ampat ini serasa milik sendiri.  Akhirnya, satu rukun “umrah laut” bisa juga saya ditunaikan, walau dengan ujian gelombang besar, hujan, dan gangguan mesin kapal.

Raja Ampat, Papua

Ini bukan hiu blacktip, tapi Icha black

Karena sudah hampi pukul setengah lima sore, satu spot di sekitar Wayag kami relakan. Pulau yang  berjarak satu jam dari kaki Wayag ini terdapat pos penjaga.  Speedboat dua mesin pun melaju menuju Desa Selpele. Suasana di atas kapal lebih hidup daripada saat kami berangkat tadi.

“Itu lumba-lumba!” teriak Citra.

Sekelompok mamalia tersebut semakin melengkapi cerita perjalanan kami.  Di Selpele, pemandu kami turun. Kami pun diperbolekan melihat-lihat kampung selama tiga puluh menit untuk menunggu speedboat isi bensin. Saya berjalan ke dermaga besar untuk menfoto anak-anak memancing. Saat menjemput pemandu tadi siang, saya melihat Kapal KM Kurisi bersandar di dermaga ini. Kapal KM Kurusi bisa menjadi alternatif murah untuk transportasi ke Selpele. Dari desa terdekat dengan Wayag ini, kita bisa mencari penyewaan kapal yang mau mengantar ke Wayag. Sayangnya jadwal KM Kurisi tidak jelas. Jadi tidak disarankan untuk pelancong yang memiliki waktu singkat.

Matahari mulai turun, ABK memanggil kami untuk merapat ke speedboat. Bertolaklah kami kembali ke homestay Mangrove milik Bu Wisye dan suami, Pak Heka Sauyai.  Speedboat berpacu lebih perkasa daripada saat berangkat. Gelombang pun lebih tenang. Semoga kami lekas sampai homestay. Bayang-bayang nasi hangat dan ikan goreng buatan Mama—orangtua dari Bu Wisye—memenuhi  benak sampai saya terjatuh ke alam mimpi sejenak.

Langit tidak terlalu cerah. Namun, kelap-kelip bintang masih terlihat. Saya tengok jam tangan, angkanya sudah di angka tujuh. Perkiraan saya, 30 menit lagi akan sampai. Perut sudah mulai lapar. Berbagai cemilan dikerahkan untuk mengganjal seluruh manusia di Kapal. Saya tengok lagi jam tangan. Kini sudah di angka delapan. Speedboat kami masih di kepung gelap. Belum tampak siluet pulau apalagi titik-titik cahaya pemukiman warga. Yang ada hanya titik-titik  hijau plankton yang menyala di sekitar badan kapal. Kami dimana? [to be countinue…]

Get Lost In Wayag, Raja Ampat #1 [Prolog] 

Get Lost In Wayag, Raja Ampat #3 [Desa itu bernama fam’s]

4 thoughts on “Get Lost In Wayag, Raja Ampat #2

Leave a comment