Nyepi di Bali #4: 24 Jam untuk Selamanya

Buku setebal 385 halaman dan 3 film sudah saya siapkan sebagai amunisi kalau-kalau bosan menyerang. Begitu pula dengan cemilan, pisang, dan makanan instan. 24 jam hanya di balik pagar penginapan, bukan perkara mudah bagi saya yang tidak bisa diam. Apalagi tahun ini, Pemda Bali mengelurkan aturan baru bahwa jaringan internet akan diputus agar masyarakat Hindu lebih khusyuk menjalankan Nyepi. Saya bukannya tidak tahu berbagai aturan tersebut. Saya sengaja datang ke Bali kala sebagian besar wisatawan justru menghindari Bali saat Nyepi. Pasti seru merasakan sensasi sunyi Bali yang biasanya ramai, sekaligus detox media sosial. Jadi, apa yang terjadi 24 jam tanpa jaringan internet dan tanpa keluar pagar penginapan?

Saya duduk di teras kamar menikmati pagi yang hangat oleh sinar mentari. Amunisi pertama saya keluarkan untuk memulai Nyepi ala @sumurdiladang. Buku Bumi Manusia yang sudah saya beli sekitar tahun lalu. Saya selami kisah percintaan Minke, seorang pemuda pribumi dengan Annelies, gadis Indo-Belanda. Baru beberapa lembar saya baca karangan Pramoedya Ananta Toer ini, Mega mengajak saya main kartu di pendopo bawah dekat pematang sawah. Awalnya saya menolak karena merasa tak pandai bermain remi. Tapi selang beberapa menit saya sudah bergabung dalam lingkaran shithead: Chaty, Lucy, Guilia, Titus, Saya, Mega.

Walau terdengar asing, permainan kartu ini cukup populer dikalangan backpackers lintas negara.  Saya gagap dan berkali-kali bertanya ke Mega yang jauh lebih master dalam dunia per-shithead-an. Permainan yang juga dikenal dengan nama karma ini banyak kali aturannya. Beberapa kartu dianugerahi ‘kekuatan spesial’. Belum lagi kalau ada empat deret angka yang sama. Agak memusingkan untuk saya yang pemula.

NyepiDiBali2018__SUM40

“3 invisible. 7 lower than. 8 skip. Kalau 10 burn,” introduction singkat Mega.

Sebagai pemula, prestasi saya tidak buruk. Belum pernah saya jadi yang pertama menghabiskan kartu di tangan, tapi tidak pula saya jadi buntut. Tidak ada pertaruhan maupun hukuman dalam permaian kami. Yang menang berhak jumawa. Yang kalah berkewajiban mengocok kartu. Shithead terus mengalir higga kami semua kalah oleh bosan.

Cathy, Lusy dan Giulia kembali ke peraduannya. Bersisa Titus, Mega, dan tentunya saya yang sedang berusaha menghabiskan makan siang berupa gado-gado ala White Villa. Saya makan sayur tapi bukan penggila sayur. Jadi butuh waktu lama untuk menandaskannya apalagi tidak ada kerupuk yang identik dalam sebungkus gado-gado Jakarta. Keripik singkong yang saya beli kemarin tidak menyelamatkannya. Tapi peyek yang Titus bawa lumayan mensubsitusi kerupuk yang saya rindukan.

NyepiDiBali2018__SUM46

Sore berfaedah di teras lantai 2 White Villa Hostel, Ubud, 17 Maret 2018.

Seperempat Nyepi berikutnya kami habiskan dengan kegiatan berfaedah yang paling disukai perempuan. Apalagi kalau bukan gossip gossip gossip! Hahaha… Tapi gosipnya bukan seputar selebriti. Kami lebih banyak membahas seputar diri masing-masing. Dari kebiasaan asal negeri, bahasa, isu global seperti imigrant, sampai nyerempet malasah hati: incuco. Jelas saya menuliskannya dengan ngawur. Tapi pelafasan yang saya tangkap dari mulut Guilia demikian. Di Indonesia, incuco kita kenal sebagai ‘teman tapi mesra’ alias TTM-an.

“Boyfriend? No… Just incuco,” sanggah Guilia dengan sapuan malu.

Obrolan incuco ini pun panjang kali lebar ke tema rahasia kecantikan perempuan Asia. Berkali-kali, Giulia menunjukan ekspresi heran melihat perempuan Indonesia. Menurutnya, perempuan Indonesia memiliki kulit mulus, tanning yang diidamkan, dan rambut yang menawaan. Saya, Titus, dan Mega otomatis tersanjung sebagai bagian perempuan yang ditemui Giulia pada pengalaman pertamanya travelling ke Asia. Ujung-ujungnya, beauty class dengan tema kepang-mengepang pun digelar di lantai dua dormitori. Mega mengepang Giulia dan saya. Lucy yang begitu piawai mengepang rambut Cathy dan Titus.

“Ten dolar, ten dolar ya,” canda Mega kepada Giulia yang minta dikepang.

Hari beranjak malam. Seorang pria pelontos mulai menerangi White Villa dengan lilin kecil warna-warni. Lampu tidak diperkenankan menyala sampai Nyepi selesai esok pagi.  Namun, dua rumah di seberang sawah masih terang. Lampu pekarangan tetangga White Villa tersebut cukup mengganggu gurat Milkyway  yang mulai kasat. Pria pelontos yang ternyata suami pemilik White Villa ini mengajak saya, Titus dan Gulia menyaksikan langit Nyepi dari depan hostel.

Tanpa gangguan lampu tetangga, bintang-bintang terlihat lebih indah. Semakin indah bintang pada pukul empat subuh. Dimana lagit mulai membiru, tapi Milkyway masih bertengger di atas sana. Hanya saya dan Titus yang rela menembus dinginnya Ubud demi atraksi bintang  jelang Tahun baru Caka. [Bersambung]