#CelotehTukangJalan: Backpacker Pantang Bawa Oleh-oleh!

 

Cho Ben Thanh, pasar tertua di Ho Chi Minh, Vietnam, Maret 2016.

Cho Ben Thanh, pasar tertua di Ho Chi Minh, Vietnam, Maret 2016.

Lu masih lebih ga?”

“Gw bayarin deh oleh-oleh lu. Buat tante gw belum nih. Tetangga gw juga belum lagi. Nyesel kenapa tadi eggak beli yang banyak.”

“Duw teman kantor juga belum. Bos gw beliin apa ya? ”

“Enak ga ya kalau oleh-olehin ginian?”

 Punya teman dermawan macam gini sudah pasti menyenangkan. Tiap traveling, ingat orang-orang di dunia nyatanya. Dari orang tua, pasangan, adik, kakak, sepupu, tante, ponakan, tetangga lima deret ke samping kanan, tetangga empat deret ke kiri, bos tiga divisi, teman segala sektor kehidupan, sampai temannya temen gebetan. Daftar oleh-olehnya panjang benar kaya Choki-choki. Kebayangkan spare waktu yang disiapkan khusus belanja oleh-oleh untuk satu klan macam begini. Belum lagi kalau ada yang kelupaan. Terpaksa deh, harus balik lagi buat ngudek-ngudek pusat oleh-oleh.

Kamu punya teman jalan tipe ini? Pasti ada, satu atau dua biji mah. Tapi, yang pasti itu bukan gw. Hahaha… Muasalnya, gw pun berlaku demikian. Punya daftar penerima oleh-oleh. Dasarnya,  gw memang suka pasar bukan sebagai ladang perburuan oleh-oleh. Aktivitas di pasar selalu menarik untuk dibingkai.  Tapi ya dasar gw mata keranjang (baca: keranjang belanjaan), enggak bisa banget lihat barang lucu nan murah. Kemudian, terbengkalailah itu kamera di leher.

Sampai pada satu titik, gw menjadi lelah dengan problematika peroleh-olehan ini. Tepatnya, setelah kuantitas traveling gw meningkat tajam, tapi gaji landai-landai saja. Niat jalan ala backpacker tapi pas balik jadi berpack-packer. Tangan kanan: keresek berisi oleh-oleh sandal, kain, syal, makanan khas. Tangan kiri: seperangkat kamera dibayar tunai. Keril: baju kotor, tripod, dome, satu set snorkle lengkap dengan fin, oleh-oleh baju. Taubat dah! Selain prinsip “bubur tanpa kecap”, gw pun memproklamirkan satu prinsip baru dalam hidup gw: “BACKPACKER PANTANG BAWA OLEH-OLEH!”

 

Thai 2016__SUM2-new

Gembolan terbesar selama jalan.  Lokasi: Phi Phi Island, Thailand, November 2016. (Photo by Tita Agustin)

 

“Ih,pelit!”

Emang! Hahaha…  Sebenarnya, urusannya bukan cuma  ngemberatin dompet, tapi juga ngemberatin tas. Saat transit di Bandara Changi, Singapura, gw dan dua kawan jalan lainnya terpaksa bongkar isi keril sampai ke dasar. Tas kita bertiga overweight buat masuk ke kabin. Sedangkan, kita beli tiket promo yang tidak menyertakan bagasi. Konon, Changi lumayan rajin  mengecek  bawaan para calon penumpangnya. Daripada nanti repot saat chek-in, jadi kita buang-buangin barang yang sekiranya bisa dibuang. Sabun mandi, sampo, baterai A2, pakaian basah yang sudah enggak puguh, dan sebagainya diikhlasin ke tempat sampah. Kamera, tripot, baterai kamera, flash, diempet-empetin ke tas selempang. Gopro ditenteng. Jaket tebal dipakai biar kata gerah. Topi rajut yang berat karena basah dipakai juga. Celana bahan jeans di-double. Semua ini demi mendapat berat tas ideal, setelah obesitas karena oleh-oleh.

Belanjaan oleh-oleh gw paling sedikit dibanding dua kawan lainnya. Tapi pas ditimbang, tas gw selalu paling berat. Karena apa??? Karena setiap traveling template muatan gw adalah kamera darat sampai air, lensa cadangan, tripod, tongsis, flash, berbagai baterai cadangan, casing waterproff, dan segala rupa. Alhasil, tas kamera gw sendiri bisa 5-10 kg. Sedangkah maksimal berat kabin, cuma 7 kg.

 

“Taro Bagasilah!”

Tahukah kamu, bahwa transportasi menyumpang pengeluaran terbesar dalam anggaran perjalanan? Jadi, gw yang budget traveler ini (baca: gembels traveler) bakal beli tiket dengan harga paling murah saat menggunakan pesawat. Sabar-sabar deh nunggu tiket promo. Biar kata  tiketnya exclude makan, itung-itung diet. Enggak ada bagasi, sebodo teinglah. Yang penting murah dan selamat tiba di tempat. Mending uangnya ditabung buat tiket destinasi perjalanan berikutnya. Mengingat bucket list “things to do before i die” masih banyak. Jadi buat gw, bagasi bisa dicoretlah. Apalagi bagasi cuma untuk oleh-oleh?

“Anti oleh-oleh banget?”

Enggak dong ^,^) Gw senang kalau ada teman yang memberikan buah tangan dari hasil travelingnya. Kadang mengharu-biru pas oleh-olehnya khusus buat gw. Uhuy! Gw juga sempetin belanja oleh-oleh. Apalagi pas perjalanan karena penugasan kantor. Perjalanan macam itu kudu banget bawain oleh-oleh buat berjamaah sedivisi kantor. Pas traveling gembel pun kadang gw nyari oleh-oleh, tapi peruntukannya terbatas. Hanya untuk orang-orang yang kangen sama akuh pas travelling, hadiah untuk teman, atau  buat diri sendiri sebagai pengikat memori.

Intinya, oleh-oleh ini enggak bikin tas obesitas. Jadi, gw tetap nyaman motret. Enggak sedikit traveler yang kesibukan berburu oleh-oleh buat sekampung, tapi lupa menikmati perjalanan itu sendiri. Tapi manusia tipe ini juga jangan sampai binasa. Tipe macam gw jangan banyak-banyaklah. Karena, merekalah P3L: Pahlawan Peningkat Perekonomian Lokal. Dan, gw siap jadi penadah dari kesenangan mereka berbelanja oleh-oleh.

 

Padang 2013__sum1

Oleh-oleh wajib kalau ke Padang.  Lokasi: Padang, Sumatera Barat, 2013.

 

“Hmm… Tapi gw kurang suka”

Menohok betul rasanya saat gw ngasih oleh-oleh kopi khas daerah tertentu untuk seorang sobat. Sambil nerima, dia komentar bahwa kopi ini dia kurang suka karena kalah sama kopi daerah lainnya di Indonesia. Pernah mengalami dapat komentar negatif sejenis? Gw beberapa kali. Sedih ya… uhuk uhuk. Padahal, kita si pelaku perjalaanan demi oleh-oleh ini sudah melakukan banyak pengorbanan: uang, waktu, tenaga, pikiran. Uang yang harusnya bisa buat nyemil saat traveling. Waktu traveling yang harusnya bisa untuk ke destinasi lain. Tenaga tersisa buat ngudek-ngudek satu pasar cenderamata. Pikiran jadi bimbang untuk menentukan kira-kira penerima oleh-oleh suka atau enggak saja bisa satu jam. Sejak itu, gw mending beli oleh-oleh yang sekiranya bakal dipakai. Kalau sekiranya enggak, mending pikir-pikir lagi dah yaw, dari pada dongkol.

“Oleh-oleh = Silaturahmi”

‘Enggak enakan’ karena enggak beli oleh-oleh itu semacam down the line MLM. “Kalau beliin adiknya, ga enak sama kakanya. Kalau beliin kakaknya masa ga beliin suaminya. Oia dia kan tinggal sama mertua, sekalian deh.” Dan seterusnya, dan seterusnya. Demi apa? Menjaga hubungan kekerabatan alias silaturahmi. Menurut gw, silaturahmi itu seharusnya dijaga dengan orang-orang yang ditemui saat traveling. Apalagi, orang-orang tersebut sudah membantu.

Gw lebih memilih membawa “oleh-oleh” dari Jakarta untuk diberikan ke teman-teman baru saat traveling. Ga perlu yang besar, tapi yang ringkas dan sudah pasti ada maanfaatnya. Saya dan teman-teman jalan mulai iseng membawa buku bacaan, buku tulis, atau mainan untuk anak-anak di sekitar tempat traveling. Tapi jangan pernah membawakan bola mainan yang sudah ditiup ya. Sekalipun, tiket kita ada jatah bagasi sampai 100 kg, itu bola tetap enggak akan boleh masuk pesawat. Tekanan udara dalam pesawat bisa menyebabkan udara dalam bola berontak. Urusan bola ini pernah  menyebabkan kelompok saya nyaris ketinggalan pesawat ke Raja Ampat. Satu tas yang berisi alat snorkle dan bola plastik di tahan petugas saat detik-detik keberangkatan pesawat.

 

“Jadi oleh-oleh: yay or nay?”

Bebas! Sesuai kepercayaan masing-masing. Tapi mungkin oleh-oleh ini disesuaikan dengan kondisi kantong dan kapasitas bagasi. Jangan sampai mikirin orang segrambreng di dunia nyata, malah membuat kita alpa menikmati ‘me time’ saat perjalanan. Tapi jangan pula sampai benar-benar lupa sama orang-orang terkasih yang sudah menanti kepulangan kita. Demi kelancaran perijinan traveling berikutnya.

 

LOMBOK 2013__sum1

Oleh-oleh dari Desa Adat Sade, Lombok, NTB, 2013. (Photo by: Trias Kaka)

 

Tentang oleh-oleh ini menjadi pembuka celotehan Bubu Dita, Efi Epoy, dan Ria Mbakjaw untuk pada 2018. Kami punya cerita dan tips oleh-oleh versinya masing-masing. Oia, mulai 2018 ini #CelotehTukangJalan punya personel baru: Ury Ceria.

Semoga di 2018 ini dan dengan bertambahnya personel baru, #CelotehTukangJalan lebih konsisten ngeblog. Aminnnn… Selamat tahun baru saudara! Dan ingat, kalau ada yang sekoyong-konyong nanyain oleh-oleh berdalihlah dengan bilang:  “Backpacker pantang bawa oleh-oleh!”

10 thoughts on “#CelotehTukangJalan: Backpacker Pantang Bawa Oleh-oleh!

      1. Hahaa tahun pertama merantau emang sering ditodong tiap dua bulan sekali pulkam. Setelah tahun ke 2, 3, 4 ampe skrg sih udah enggak yaa setelah saya becandain mereka wkwkwk

        Like

  1. dulu gue tipe kaya gini..ole2 yang biasa gue beli kalo pulang dari gembel trip palingan hiasan meja asli dari tempat travelling..selebihnya? mending masuk ke perut gue bwahahahahhahaaa… tapi seiring bertambah waktu, apalagi sekarang udah punya suami, mau ga mau tiap travelling pasti ada daftar listnya..
    btw kapan kak nita motoin kami lagi? 😀

    Like

Leave a comment